x

Polemik Ijazah Jokowi Berlanjut: Saling Lapor Antara Presiden dan TPUA

waktu baca 2 minutes
Jumat, 9 Mei 2025 10:59 0 503 Redaksi

Tangerangsatu.com, Jakarta – Polemik terkait keaslian ijazah Sarjana Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) milik Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, belum menemukan titik akhir.

Masalah ini justru memanas, setelah Presiden Jokowi melaporkan balik lima anggota Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik.

Laporan balik ini muncul sebagai respons atas laporan TPUA sebelumnya ke Bareskrim Polri pada Desember 2024, yang menuding Presiden Jokowi menggunakan ijazah palsu. Kasus ini memicu kontroversi publik karena pelapor dan terlapor kini saling bertukar posisi.

Yus Dharman, Ketua Dewan Pengawas Forum Advokat dan Pengacara Republik Indonesia (FAPRI), menyoroti situasi ini.

Menurutnya, laporan utama yang diajukan TPUA seharusnya diproses lebih dahulu sebelum laporan balasan Presiden Jokowi ditindaklanjuti. Ia mengingatkan, jika laporan utama terbukti benar, maka laporan balasan secara hukum akan gugur.

“Kepolisian sebaiknya menyelesaikan laporan awal dari TPUA terlebih dahulu agar tidak terjadi tumpang tindih hukum. Jika laporan utama dinyatakan tidak cukup bukti atau dihentikan (SP3), barulah laporan balasan bisa dilanjutkan ke tahap penyelidikan dan penyidikan,” jelas Yus Dharman Jumat (9/5).

Ia juga menekankan pentingnya sikap transparan untuk mencegah kegaduhan publik yang berkepanjangan. Menurutnya, polemik ini tidak perlu terjadi jika sejak awal Presiden menunjukkan ijazah aslinya.

“Seandainya sejak awal ijazah asli ditunjukkan, polemik ini tak akan berkepanjangan. Tapi faktanya sampai hari ini dokumen asli itu belum pernah diperlihatkan,” ujarnya.

Yus Dharman kemudian mengulas secara psikologis alasan mengapa seseorang mungkin menutup-nutupi kebenaran.

Ia menyebut berbagai faktor seperti tekanan sosial, keinginan mempertahankan citra, hingga motif untuk melindungi kepentingan pribadi atau kelompok.

“Berbohong kadang muncul karena ingin menghindari hukuman, menjaga citra diri, atau bahkan untuk mendapat keuntungan materi maupun posisi. Dalam beberapa kasus, kebiasaan berbohong terbentuk sejak kecil atau karena lingkungan yang permisif,” katanya.

Ia menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa kejujuran adalah modal utama kepercayaan publik. “Kalau mau dipercaya, jangan suka berbohong,” pungkasnya.

Redaksi
Author: Redaksi

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
x
x