Tangerangsatu.com – Merevisi undang-undang (UU) di Indonesia harus mengikuti prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019.
Berikut adalah tahapan resmi dalam proses revisi UU:
1. Pengusulan
Revisi UU dapat diajukan oleh:
* Presiden melalui menteri terkait
* DPR, oleh minimal satu fraksi atau komisi
* DPD, untuk materi sesuai kewenangannya
Usulan tersebut harus tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), kecuali bersifat mendesak.
2. Pembahasan
Rancangan Undang-Undang (RUU) hasil revisi dibahas oleh DPR dan pemerintah melalui dua tingkat:
* Pembicaraan Tingkat I: dilakukan melalui rapat kerja, panitia kerja, hingga tim perumus
* Pembicaraan Tingkat II: pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR
3. Pengesahan
Jika disetujui oleh DPR dan Presiden, RUU hasil revisi akan menjadi undang-undang setelah ditandatangani Presiden dalam waktu 30 hari. Jika tidak ditandatangani, tetap sah dan berlaku secara otomatis.
4. Pengundangan
Setelah disahkan, UU diundangkan dalam Lembaran Negara oleh Menteri Hukum dan HAM.
5. Jalur alternatif melalui Perppu
Dalam keadaan darurat, Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu. Namun, Perppu tetap harus mendapat persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya agar menjadi undang-undang.
Meskipun sistem ini sudah mengatur prosedur secara jelas, praktiknya seringkali berbeda. Beberapa revisi UU dilakukan secara diam-diam atau tanpa keterlibatan publik secara luas. Hal ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.
Beberapa cara yang sering digunakan dalam praktik revisi diam-diam antara lain:
* Tidak melibatkan publik secara luas
Pembahasan hanya melibatkan pihak tertentu, tanpa uji publik atau konsultasi dengan akademisi dan masyarakat sipil.
* Menyisipkan perubahan dalam revisi lain
Pasal baru disisipkan dalam RUU yang tampaknya tidak kontroversial. Contoh paling menonjol adalah praktik Omnibus Law.
* Mengesahkan dengan cepat dan tanpa perdebatan
Pembahasan dilakukan dengan tergesa-gesa, sering kali di masa reses atau ketika perhatian publik tertuju pada isu lain.
* Menggunakan Perppu tanpa alasan yang jelas
Perppu dapat digunakan untuk mengubah UU dengan cepat, meskipun alasan darurat tidak selalu terpenuhi.
* Kurangnya transparansi
Dokumen dan draf revisi tidak dipublikasikan secara terbuka sebelum disahkan, menyulitkan masyarakat dalam mengawasi proses.
Jika terdapat indikasi revisi dilakukan secara tertutup, masyarakat dan organisasi sipil dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, tekanan publik melalui media, aksi damai, serta advokasi hukum menjadi alat penting untuk menjaga akuntabilitas pembuat undang-undang.
Revisi undang-undang seharusnya menjadi langkah perbaikan hukum yang adil, bukan alat manipulasi regulasi. Partisipasi publik dan keterbukaan adalah pilar utama dari proses legislasi yang demokratis dan sehat.
Tidak ada komentar