x

Prosedur Revisi Undang-Undang di Indonesia dan Potensi Celah dalam Praktiknya

waktu baca 2 minutes
Jumat, 13 Jun 2025 06:20 0 546 Redaksi

Tangerangsatu.com – Merevisi undang-undang (UU) di Indonesia harus mengikuti prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019.

Berikut adalah tahapan resmi dalam proses revisi UU:

1. Pengusulan

Revisi UU dapat diajukan oleh:

* Presiden melalui menteri terkait

* DPR, oleh minimal satu fraksi atau komisi

* DPD, untuk materi sesuai kewenangannya

Usulan tersebut harus tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), kecuali bersifat mendesak.

2. Pembahasan

Rancangan Undang-Undang (RUU) hasil revisi dibahas oleh DPR dan pemerintah melalui dua tingkat:

* Pembicaraan Tingkat I: dilakukan melalui rapat kerja, panitia kerja, hingga tim perumus

* Pembicaraan Tingkat II: pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR

3. Pengesahan

Jika disetujui oleh DPR dan Presiden, RUU hasil revisi akan menjadi undang-undang setelah ditandatangani Presiden dalam waktu 30 hari. Jika tidak ditandatangani, tetap sah dan berlaku secara otomatis.

4. Pengundangan

Setelah disahkan, UU diundangkan dalam Lembaran Negara oleh Menteri Hukum dan HAM.

5. Jalur alternatif melalui Perppu

Dalam keadaan darurat, Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu. Namun, Perppu tetap harus mendapat persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya agar menjadi undang-undang.

Meskipun sistem ini sudah mengatur prosedur secara jelas, praktiknya seringkali berbeda. Beberapa revisi UU dilakukan secara diam-diam atau tanpa keterlibatan publik secara luas. Hal ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011.

Beberapa cara yang sering digunakan dalam praktik revisi diam-diam antara lain:

* Tidak melibatkan publik secara luas

Pembahasan hanya melibatkan pihak tertentu, tanpa uji publik atau konsultasi dengan akademisi dan masyarakat sipil.

* Menyisipkan perubahan dalam revisi lain

Pasal baru disisipkan dalam RUU yang tampaknya tidak kontroversial. Contoh paling menonjol adalah praktik Omnibus Law.

* Mengesahkan dengan cepat dan tanpa perdebatan

Pembahasan dilakukan dengan tergesa-gesa, sering kali di masa reses atau ketika perhatian publik tertuju pada isu lain.

* Menggunakan Perppu tanpa alasan yang jelas

Perppu dapat digunakan untuk mengubah UU dengan cepat, meskipun alasan darurat tidak selalu terpenuhi.

* Kurangnya transparansi

Dokumen dan draf revisi tidak dipublikasikan secara terbuka sebelum disahkan, menyulitkan masyarakat dalam mengawasi proses.

Jika terdapat indikasi revisi dilakukan secara tertutup, masyarakat dan organisasi sipil dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, tekanan publik melalui media, aksi damai, serta advokasi hukum menjadi alat penting untuk menjaga akuntabilitas pembuat undang-undang.

Revisi undang-undang seharusnya menjadi langkah perbaikan hukum yang adil, bukan alat manipulasi regulasi. Partisipasi publik dan keterbukaan adalah pilar utama dari proses legislasi yang demokratis dan sehat.

Redaksi
Author: Redaksi

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA
x
x