Tangerangsatu.com – Pangkoarmada RI, Laksamana Madya TNI Denih Hendrata, menyatakan bahwa penembakan yang dilakukan oleh oknum anggota TNI AL di KM 45 Merak-Tangerang merupakan tindakan membela diri akibat pengeroyokan.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam konferensi pers di Mako Koarmada RI, Jakarta Pusat, Senin (6/1/2025).
Namun, pernyataan ini bertentangan dengan kesaksian Agam Muhammad Nasrudin, anak korban yang berada di lokasi kejadian. Menurut Agam, tidak ada pengeroyokan.
Bahkan, sebelum masuk rest area KM 45, mereka sudah diancam akan ditembak oleh pelaku menggunakan senjata api.
Organisasi HAM, Imparsial, menilai pernyataan Pangkoarmada bersifat prematur dan melukai keluarga korban. Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menegaskan bahwa tindakan pelaku menunjukkan niat jahat, bukan pembelaan diri.
“Dalih pembelaan diri jelas keliru. Puspomal harus transparan dan tidak melindungi pelaku,” ujarnya.
Catatan Kekerasan oleh Oknum TNI
Kasus ini menambah daftar panjang penyalahgunaan senjata api oleh oknum anggota TNI. Imparsial mencatat pada 2024 terjadi 8 kasus penyalahgunaan senjata api yang mengakibatkan 7 warga sipil tewas dan 10 lainnya terluka. Selain itu, terdapat 27 kasus kekerasan terhadap warga sipil, dengan 12 korban meninggal.
Ardi juga mengkritik sistem peradilan militer yang dianggap tidak layak menangani kejahatan pidana umum oleh anggota TNI. Ia mendesak agar pelaku diproses melalui peradilan umum sesuai amanat UU TNI Pasal 65 ayat (2) dan TAP MPR No. VII Tahun 2000.
Meski sudah lebih dari dua dekade, revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer masih belum dilakukan.
“Pemerintah dan DPR harus segera mereformasi peradilan militer agar keadilan bagi korban dapat ditegakkan,” tegas Ardi.