Tangerangsatu.com, Jakarta, 23 Mei 2025 — Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Yus Dharman, SH., MM., M.Kn, Ketua Dewan Pengawas Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia (FAPRI).
Menurut Yus Dharman, revisi tersebut **tumpang tindih dengan undang-undang lain**, termasuk UU Keuangan Negara dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta menimbulkan potensi besar untuk disalahgunakan.
“Alih-alih menciptakan kepastian hukum dan efisiensi birokrasi, justru membuka celah kerugian bagi negara dan publik serta mempersempit ruang pengawasan oleh lembaga negara seperti BPK dan KPK,” ujar Yus Dharman.
Salah satu pasal yang menuai sorotan adalah Pasal 4B, yang menyatakan bahwa kerugian atau keuntungan yang dialami oleh BUMN tidak dianggap sebagai kerugian atau keuntungan negara.
Hal ini bertentangan dengan Pasal 6 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dengan jelas menyebutkan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN tetap merupakan bagian dari keuangan negara.
Lebih lanjut, hal ini juga berbenturan dengan UU Tindak Pidana Korupsi, khususnya mengenai definisi pegawai negeri yang mencakup individu yang menerima gaji dari institusi yang menggunakan dana negara atau fasilitas negara.
Pasal lainnya yang dinilai bermasalah adalah penguatan prinsip Business Judgment Rule, yang memberikan perlindungan hukum (imunitas) kepada Direksi dan Komisaris BUMN atas keputusan bisnis, selama diambil dengan “itikad baik.”
Hal ini berpotensi membuat KPK dan Kejaksaan tidak bisa menindak pejabat BUMN, sekalipun menimbulkan kerugian keuangan negara.
“Ini bertentangan langsung dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 tentang persamaan di hadapan hukum (equality before the law),” tambah Yus Dharman.
Dalam revisi terbaru ini, BUMN diperlakukan setara dengan entitas swasta murni, tanpa lagi menyebutkan kewajiban mereka untuk menjalankan fungsi pelayanan publik atau kepentingan nasional.
Ini bertolak belakang dengan Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan kekayaan alam harus dikuasai oleh negara demi kemakmuran rakyat.
Revisi UU BUMN juga memberi ruang lebih besar untuk privatisasi aset negara. Hal ini membuka peluang penjualan aset BUMN dengan harga rendah kepada pihak tertentu, yang tentu merugikan kepentingan publik.
Selain itu, sistem pengawasan terhadap keuangan BUMN juga berubah drastis. Audit tahunan tidak lagi menjadi kewenangan penuh BPK, melainkan dilakukan oleh akuntan publik yang ditunjuk melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
BPK hanya dapat melakukan audit atas permintaan DPR melalui Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT).
Atas berbagai permasalahan di atas, Yus Dharman menegaskan pentingnya langkah Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, demi menjaga harmonisasi sistem hukum dan memastikan tidak ada undang-undang yang saling bertentangan.
“Reformasi regulasi adalah keniscayaan. Namun harus menjamin perlindungan hukum dan kepentingan rakyat, bukan memperkuat oligarki dan kekebalan hukum,” pungkasnya.
Tidak ada komentar